Mengutamakan Kewajiban di Atas Sunah dalam Ibadah: Bagian Ketakwaan yang Sering Terlupakan
Amalan sunah sebagai wasilah kedekatan hamba dengan Rabb-nya
Saudaraku, sebagai seorang muslim, selain amalan wajib, kita dianjurkan untuk membiasakan diri melaksanakan amalan sunah, baik berupa salat malam, puasa sunah, zikir, baca Al-Qur’an, infak, maupun berbagai amalan nawafil lainnya. Dengan membiasakan diri melaksanakan amalan sunah tersebut, jalan untuk semakin dekat dengan Allah Ta’ala pun semakin terbuka lebar, doa-doa mudah terkabul, serta pertolongan dan perlindungan Allah Ta’ala senantiasa menyertai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangan yang ia gunakan untuk memegang, dan memberi petunjuk pada kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya. Dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Mengapa amalan sunah sulit dilaksanakan?
Kita semua menginginkan menjadi hamba yang dekat dengan Allah Ta’ala sebagaimana yang dimaksud dalam hadis di atas. Tentu saja, menjadi seorang yang bertakwa merupakan keinginan dan harapan yang sungguh sangat mulia.
Namun, disadari atau tidak, fokus kita terkadang tertuju pada bagian ketakwaan dari satu sisi saja, yaitu melakukan amalan-amalan sunah yang mulia, seperti salat malam atau infak tersebut semata. Sementara, kita lupa akan kewajiban untuk mencegah diri dari perbuatan dosa. Padahal, mencegah diri dari maksiat merupakan wujud ketakwaan (meninggalkan larangan Allah Ta’ala) yang merupakan kewajiban. Keutamaannya juga lebih besar daripada amalan sunah apapun.
Saudaraku! Tanyakanlah pada diri kita, apakah amalan-amalan sunah mulia yang dijanjikan pahala dan keutamaannya tersebut berat untuk kita lakukan?
Jika jawabannya adalah “ya”, maka mari kembali tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita selama ini sudah menjaga diri dari larangan Allah Ta’ala? Bisa jadi, berat yang dirasa tatkala hendak mengamalkan amalan-amalan sunah (yang akan mendatangkan karunia Allah) tersebut disebabkan oleh suatu perkara yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian manusia, yaitu: maksiat. Kemaksiatan yang bersumber dari mata, lisan, tangan, kaki, lisan, dan niat yang buruk, baik dalam menjalani kehidupan sesama makhluk maupun dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Lihatlah diri kita, dari pagi hingga malam ini, sudah berapa pelanggaran syariat (kecil maupun besar) yang telah dilakukan?
Baca juga: Mengamalkan Sunnah Nabi ketika Banyak yang Meninggalkannya
Bagian ketakwaan yang sering terlupakan
Meninggalkan dosa adalah bagian dari ketakwaan yang cenderung terlupakan oleh sebagian muslimin. Telah banyak dalil yang dengan jelas menegaskan bahwa menjauhi dosa dan larangan Allah merupakan suatu kewajiban yang memiliki pahala yang luar biasa besar.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Larangan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan representasi langsung dari kehendak Allah. Sehingga meninggalkan larangan ini adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Oleh karena itu, seseorang tidaklah bertakwa hanya dengan melakukan semua perintah Allah Ta’ala, baik yang wajib maupun yang sunah saja, tanpa bertekad dan berupaya menjauhi semua yang dilarang oleh Allah Ta’ala.
Ingatlah, bahwa selama kita tetap dalam kubangan maksiat kepada Allah Ta’ala, maka akan menjadi sulit pula bagi kita untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, baik yang sunah maupun yang wajib. Artinya, dengan itu, akan sulit pula bagi kita untuk memperoleh rahmat dan kasih sayang-Nya berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Bisa saja, itu merupakan jawaban dari pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran. Kenapa kehidupan ini sulit? Kenapa banyak masalah? Kenapa semua beban terasa berat? Kenapa tidak ada jalan keluar dari permasalahan dunia ini?
Janji Allah bagi orang yang meninggalkan maksiat
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ
“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit.” (QS. Al-A’raf : 96)
Saudaraku, sungguh janji Allah dalam ayat tersebut adalah benar. Bahwa keberkahan dari langit dan bumi diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Kadangkala kita lupa bagaimana mengaplikasikan ketakwaan dalam kehidupan kita khususnya dalam menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala.
Kita terus merasa aman dengan menganggap diri telah melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba seperti salat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Sedikit pula kita menyadari akan dosa-dosa kecil, seperti: berkata dusta, membicarakan aib orang lain, tidak menjaga pandangan (dalam dunia nyata ataupun maya), tidak menjaga lisan dari menyakiti perasaan orang lain, terlibat dalam transaksi ribawi, menelantarkan orang tua, menelantarkan istri dan anak, serta berbagai perbuatan dosa lainnya. Wal-‘yadzu billah.
Padahal, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, apabila kita benar-benar beriman dan bertakwa (khususnya menjaga diri dari segala potensi dosa-dosa), maka Allah Ta’ala akan memberikan karunia-Nya kepada kita berupa keberkahan dari langit dan bumi.
Mari kita perhatikan lebih detail definisi takwa dari seorang ulama tabiin, Thalq bin Habib rahimahullah (murid sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu),
التقوى أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو ثواب الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عقاب الله.
“Takwa adalah engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari azab Allah.” (Siyar A’lamin Nubala’, 4: 601)
Saudaraku, bertakwalah kepada Allah dengan sebenarnya takwa. Sadarilah bahwa meninggalkan larangan Allah merupakan bagian penting dari ketakwaan dan menjadi hal yang lebih utama daripada amalan sunah. Tanpa mengesampingkan keutamaan amalan sunah, meninggalkan larangan Allah merupakan hal yang wajib kita laksanakan. Karena kita tahu bahwa perkara wajib lebih utama dari yang sunah.
Mudah-mudahan, dengan izin Allah Ta’ala, ikhtiar kita untuk menjaga diri dari perbuatan dosa menjadi wasilah akan kemudahan-kemudahan kita memperoleh karunia Allah Ta’ala berupa ketaatan, ketakwaan, keistikamahan, dan menjadi hamba Allah Ta’ala yang bahagia di dunia dan akhirat-Nya.
Baca juga: Durhaka dan Maksiat karena Takdir dan Kehendak Allah
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel asli: https://muslim.or.id/88350-mengutamakan-kewajiban-di-atas-sunah-dalam-ibadah.html